Hukum Internasional
A.
Sistem Hukum
Internasional
Hukum internasional
merupakan hukum bangsa-bangsa yang dilakukan oleh suatu negara atau bangsa
dalam mengadakan hubungan dengan negara lain agar terjalin kerja sama yang baik
dan saling menguntungkan.cd
1.
Sejarah Hukum
Internasional
Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum
yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat
Internasional yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebagai titik saat
lahirnya negara-negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya
Perjanjian Perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di
Eropa.
Zaman dahulu kala sudah terdapat ketentuan yang
mengatur, hubungan antara raja-raja atau bangsa-bangsa:
Dalam lingkungan kebudayaan India Kuno
telah terdapat kaedah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antar kasta,
suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh adat kebiasaan. Menurut
Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja dinamakan
Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau
Chanakya.Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di
bidang hukum.
Kebudayaan Yahudi
Dalam hukum kuno mereka antara lain Kitab Perjanjian
Lama, mengenal ketentuan mengenai perjanjian, diperlakukan terhadap orang asing
dan cara melakukan perang.Dalam hukum perang masih dibedakan (dalam hukum
perang Yahudi ini) perlakuan terhadap mereka yang dianggap musuh bebuyutan,
sehingga diperbolehkan diadakan penyimpangan ketentuan perang.
Lingkungan kebudayaan Yunani. Hidup dalam
negara-negara kita.Menurut hukum negara kota penduduk digolongkan dalam 2
golongan yaitu orang Yunani dan orang luar yang dianggap sebagai orang biadab
(barbar). Masyarakat Yunani sudah mengenal ketentuan mengenai perwasitan
(arbitration) dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya.
Sumbangan yang berharga untuk Hukum Internasional
waktu itu ialah konsep hukum alam yaitu hukum yang berlaku secara mutlak
dimanapun juga dan yang berasal dari rasion atau akal manusia.
Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur
hubungan antara kerajaan-kerajaan tidak mengalami perkembangan yang pesat pada
zaman Romawi. Karena masyarakat dunia merupakan satu imperium yaitu imperium
roma yang menguasai seluruh wilayah dalam lingkungan kebudayaan Romawi.
Sehingga tidak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan dengan
sendirinya tidak ada pula tempat bagi hukum bangsa-bangsa yang mengatur
hubungan antara kerajaan-kerajaan. Hukum Romawi telah menyumbangkan banyak
sekali asas atau konsep yang kemudian diterima dalam hukum Internasional ialah
konsep seperti occupatio servitut dan bona fides. Juga asas “pacta sunt
servanda” merupakan warisan kebudayaan Romawi yang berharga.
Abad pertengahan
Selama abad pertengahan dunia Barat dikuasai oleh satu
sistem feodal yang berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan gereja berpuncak
pada Paus sebagai Kepala Gereja Katolik Roma. Masyarakat Eropa waktu itu
merupakan satu masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa negara yang
berdaulat dan Tahta Suci, kemudian sebagai pewaris kebudayaan Romawi dan
Yunani.
Di samping masyarakat Eropa Barat, pada waktu itu
terdapat 2 masyarakat besar lain yang termasuk lingkungan kebudayaan yang
berlaianan yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium
sedang menurun mempraktikan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya. Oleh
karenanya praktik Diplomasi sebagai sumbangan yang terpenting dalam
perkembangan Hukum Internasional dan Dunia Islam terletak di bidang Hukum Perang.
Perjanjian Westphalia
Perjanjian Damai Westphalia terdiri dari dua
perjanjian yang ditandatangani di dua kota di wilayah Westphalia, yaitu di
Osnabrück (15 Mei 1648) dan di Münster (24 Oktober 1648). Kedua perjanjian ini
mengakhiri Perang 30 Tahun (1618-1648) yang berlangsung di Kekaisaran Suci
Romawi dan Perang 80 Tahun (1568-1648) antara Spanyol dan Belanda.
Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa
penting dalam sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu
peristiwa Hukum Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara
nasional. Sebabnya adalah :
1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian
Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah
terjadi karena perang itu di Eropa .
2. Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya
usaha Kaisar Romawi yang suci.
3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari
persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara
itu masing-masing.
4. Kemerdekaan negara Belanda, Swiss dan negara-negara
kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia.
Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan
masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan
atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan)
maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni pemisahan
kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.
Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian
Westphalia diperteguh dalam Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari
sudut politik Internasional, karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai
asas politik internasional.
Dalam perkembangan berikutnya, pemahaman tentang hukum
internasional dapat dibedakan dalam dua (2) hal, yaitu:
v Hukum Perdata
Internasional adalah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan
perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum
perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata
(nasional) yang berlainan.
v Hukum Internasional
adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan
yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat
perdata.
2. Tokoh
Hukum Internasional
- Hugo Grotius mendasarkan sistem hukum Internasional atas berlakunya
hukum alam. Hukum alam telah dilepaskan dari pengaruh keagamaan dan
kegerejaan. Banyak didasarkan atas praktik negara dan perjanjian negara
sebagai sumber Hukum Internasional disamping hukum alam yang diilhami oleh
akal manusia, sehingga disebut Bapak Hukum Internasional.
- Fransisco Vittoria biarawan Dominikan – berkebangsaan Spanyol Abad XIV
menulis buku Relectio de Indis
mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS. Bahwa
negara dalam tingkah lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya. Maka
hukum bangsa-bangsa ia namakan ius
intergentes.
- Fransisco Suarez (Yesuit) menulis De legibius ae Deo legislatore (on laws and God as legislator)
mengemukakan adanya suatu hukum atau kaedah obyektif yang harus dituruti
oleh negara-negara dalam hubungan antara mereka.
- Balthazer Ayala (1548-1584) dan Alberico Gentilis mendasarkan ajaran
mereka atas falsafah keagamaan atau tidak ada pemisahan antara hukum,
etika dan teologi.
3.
Makna dan Pengertian
Hukum Internasional
Berikut merupakan beberapa pengertian hukum internasional oleh beberapa
ahli hukum internasional.
a. Menurut Grotius
Hukum internasional adalah hukum yang
membahas kebiasaan-kebiasaan (custom)
yang diikuti negara-negara pada zamannya.
b. Menurut James Leslie
Brierly
Hukum internasional adalah sekumpulan aturan
dan asas untuk berbuat sesuatu yang mengikat negara-negara beradab di dalam
hubungan mereka dengan jalan yang lain.
c. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja
Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah
dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas
negara, yaitu antara:
·
Negara dan negara;
·
Negara dan lembaga atau organisasi internasional.
d. Menurut Fransisco
Suarez
Hukum internasional adalah hukum yang berlaku
untuk seluruh manusia atas dasar hukum manusia demi kesejahteraan bersama.
e. Menurut J.G. Starke
Hukum internasional adalah sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar terdiri
dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antarnegara.
f.
Menurut Boer Maulana
Hukum internasional adalah suatu kaidah atau
norma-norma yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum
internasional yaitu negara, lembaga dan organisasi internasional, serta
individu dalam hal-hal tertentu.
g. Menurut Wirjono
Prodjodikoro
Hukum internasional adalah hukum yang mengatur
perhubungan hukum antarbangsa di berbagai negara.
Dari definisi beberapa
ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum internasional adalah seperangkat
kaaidah dan prinsip tindakan ataupun tingkah laku yang mengikat negara yang
berupa sistem hukum.
4.
Dasar Berlakunya
Hukum Internasional
Dasar-dasar
berlakunya hukum internasional dapat dilihat dari teori-teori berikut ini:
a. Teori Hukum Alam
Hukum ideal didasarkan atas hakikat manusia
sebagai makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah-kaidah yang diilhami alam
pada akal manusia.
b. Teori Positivisme
Kekuatan mengikatnya hukum internasional pada
kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional.
c. Teori Aliran Mahzab
Wina
Kekuatan mengikat hukum internasional bukan
kehendak negara melainkan norma hukum yang merupakan dasar terakhir yang harus
dipatuhi oleh setiap negara.
d. Teori Aliran Mahzab
Perancis
Kekuatan mengikatnya hukum internasional
dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan hidup manusia.
5.
Asas Hukum
Internasional
a. Asas Teritorial
Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua
barang yang ada di wilayahnya dan terhadap semua barang atau orang yang berada
di wilayahnya tersebut berlaku hukum asing (internasional) sepenuhnya.
b. Asas Kebangsaan
Asas ini berdasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya. Menurut
asas ini, setiap negara di manapun juga dia berada tetap mendapatkan perlakuan
hukum dari negaranya. Asas ini mempunyai kekuatan ekstritorial, artinya hukum
negara tersebut tetap berlaku juga bagi warga negaranya, walaupun ia berada di
negara asing.
c. Asas Kepentingan Umum
Asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur
kepentingan dalam kehidupan masyarakat, dalam hal ini negara dapat
menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang berkaitan dengan
kepentingan umum, jadi hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu
negara.
d. Asas Ex Aequo Et Bono
Asas ini untuk menetapkan keputusan oleh pengadilan internasional atas
dasar keadilan dan kebaikan.
6.
Subjek Hukum
Internasional
a.
Negara
Sejak lahirnya hukum Internasional, negara sudah
diakui sebagai subjek hukum Internasional. Bahkan, hingga sekarang pun masih
ada anggapan bahwa hukum Internasional pada hakikatnya adalah hukum antar
negara.
b.
Takhta Suci (Vatikan)
Di samping negara, sejak dulu Takhta Suci (Vatikan)
merupakan subjek hukum Internasional. Hal ini merupakan peninggalan sejarah
masa lalu. Ketika itu, Paus bukan hanya merupakan kepala Gereja Roma, tetapi
memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang, Takhta Suci mempunyai
perwakilan diplomatik di banyak ibukota.
c.
Palang Merah Internasional
Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa
mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum Internasional. Kedudukan PMI
sebagai subjek hukum Internasional lahir karena sejarah masa lalu. Pada
umumnya, PMI merupakan subjek hukum Internasional dengan ruang lingkup yang
terbatas dan tak penuh.
d.
Organisasi Internasional
Kedudukan Organisasi Internasional sebagai subjek
hukum Internasional pada jaman sekarang sudah tak diragukan lagi. Organisasi
Internasional seperti PBB, ILO, dan lainnya mempunyai hak dan kewajiban yang
ditetapkan dalam konvensi-konvensi Internasional. Dengan demikian, PBB dan
organisasi Internasional semacam itu merupakan subjek hukum Internasional.
e.
Orang Perseorangan (Individu)
Orang perseorangan juga dapat dianggap sebagai subjek
hukum Internasional, meskipun dalam arti yang terbatas. Dalam perjanjian
Versailles misalnya, yang mengakhiri Perang Dunia 1 antara Jerman dengan
Inggris dan Perancis. Di dalamnya terdapat pasal-pasal yang memungkinkan orang
perseorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional.
f.
Pemberontak dan Pihak Dalam
Sengketa (Belligerent)
Menurut hukum perang, dalam beberapa keadaan tertentu
pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa.
Akhir-akhir ini muncul perkembangan baru yang mirip dengan pengakuan terhadap
status pihak yang bersengketa dalam perang. Contohnya Gerakan Pembebasan
Palestina (PLO)
7.
Substansi Hukum
Internasional
Substansi
hukum internasional sangat luas, yaitu:
a. Peraturan hukum yang
berkenaan dengan negara-negara, misalnya tentang kualifikasi negara, hak dan
kewajiban negara;
b. Peraturan hukum yang
berkenaan dengan persoalan antarnegara;
c. Peraturan hukum yang
berkenaan dengan organisasi internasional dan fungsinya;
d. Peraturan hukum yang
mengatur hubungan antarorganisasi
internasional;
e. Mengatur hubungan
antarindividu dengan subjek hukum bukan negara;
f.
Mengatur hubungan antarorganisasi internasional
dengan individu.
8.
Sumber-Sumber Hukum
Internasional
a. Konvensi–konvensi
internasional atau Perjanjian internasional (Traktat atau treaty atau Internasional
Conventions)
b. Kebiasaan –
kebiasaan internasional, yaitu yang terbukti dalam praktik umum dan diterima
sebagai hukum (internasional custom).
c. Prinsip-prinsip
hukum internasional yang diakui bangsa-bangsa yang beradab (general principles of law).
d. Keputusan-keputusan
hukum atau yurisprudensi
e. Pendapat dan ajaran
para ahli hukum terkemuka (doktrin)
9.
Bentuk Hukum
Internasional
Hukum
Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang
khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu :
a. Hukum
Internasional Regional
Hukum
Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum
Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen
(Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation
of the living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika
sehingga menjadi hukum Internasional Umum.
b. Hukum Internasional Khusus
Hukum
Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara
tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan,
kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari
bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui
proses hukum kebiasaan.
10. Sistem Ratifikasi Internasional
Sistem ratifikasi internasional pada
umumnya dibedakan menjadi 3, yaitu:
a. Ratifikasi oleh
badan eksekutif
b. Ratifikasi oleh
badan legislatif
c. Ratifikasi
campuran yang meliputi:
1)
Sistem campuran yang menonjolkan lembaga lembaga
eksekutif;
2)
Sistem campuran yang lebih menonjolkan lembaga
legislatif.
B. Sistem Peradilan Internasional
a. Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional (bahasa Inggris: International Court
of Justice atau ICJ) berkedudukan di Den Haag, Belanda . Mahkamah merupakan
badan kehakiman yang terpenting dalam PBB . Dewan keamanan dapat menyerahkan
suatu sengketa hukum kepada mahkamah, majelis umum dan dewan keamanan dapat
memohon kepada mahkamah nasihat atas persoalan hukum apa saja dan organ-organ
lain dari PBB serta badan-badan khusus apabila pendapat wewenang dari majelis
umum dapat meminta nasihat mengenai persoalan-persoalan hukum dalam ruang
lingkup kegiatan mereka. Majelis umum telah memberikan wewenang ini kepada
dewan ekonomi dan sosial, dewan perwakilan, panitia interim dari majelis umum ,
dan beberapa badan-badan antar pemerintah.
Sumber-sumber hukum yang digunakan
apabila membuat suatu keputusan ialah :
1. Konvensi-konvensi
internasional untuk menetapkan perkara-perkara yang diakui oleh negara-negara
yang sedang berselisih,
2. Kebiasaan
internasional sebagai bukti dari suatu praktik umum yang diterima sebagai hukum,
3. Azas-azas
umum yang diakui oleh negara-negara yang mempunyai peradaban
4. Keputusan-keputusan kehakiman dan pendidikan dari
publisis-publisis yang paling cakap dari berbagai negara, sebagai cara tambahan
untuk menentukan peraturan-peraturan hukum
Mahkamah dapat membuat keputusan
“ex aequo et bono” (artinya : sesuai dengan apa yang dianggap adil)
apabila pihak-pihak yang bersangkutan setuju…)
Mahkamah terdiri dari lima belas hakim, yang dikenal
sebagai ”anggota” mahkamah. Mereka dipilih oleh majelis umum dan dewan keamanan
yang mengadakan pemungutan suara secara terpisah. Hakim-hakim dipilih atas
dasar kecakapan mereka, bukan atas dasar kebangsaan akan tetapi diusahakan
untuk menjamin bahwa sistem-sistem hukum yang terpenting didunia diwakili oleh
mahkamah. Tidak ada dua hakim yang menjadi warga negara dari negara yang sama.
Hakim-hakim memegang jabatan selama waktu sembilan
tahun dan dapat dipilih kembali mereka tidak dapat menduduki jabatan lain
selama masa jabatan mereka. Semua persoalan-persoalan diputuskan menurut suatu
kelebihan dari hakim-hakim yang hadir, dan jumlah sembilan merupakan quorumnya.
Apabla terjadi seri, maka ketua mahkamah mempunyai suara yang menentukan.
c. Mahkamah Pidana Internasional
Pengadilan Kriminal Internasional (bahasa Inggris:
International Criminal Court/ICC) dibentuk pada 2002 sebagai sebuah “tribunal”
permanen untuk menuntut individual untuk genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan kejahatan perang, sebagaimana didefinisikan oleh beberapa
persetujuan internasional, terutama Rome Statute of the International Criminal
Court. ICC dirancang untuk membantu sistem yudisial nasional yang telah ada,
namun pengadilan ini dapat melaksanakan yurisdiksinya bila pengadilan negara
tidak mau atau tidak mampu untuk menginvestigasi atau menuntut kejahatan
seperti di atas, dan menjadi “pengadilan usaha terakhir”, meninggalkan
kewajiban utama untuk menjalankan yurisdiksi terhadapt kriminal tertuduh kepada
negara individual.
International Criminal Court juga disingkat sebagai ICCt untuk membedakannya
dari International Chamber of Commerce. ICC berbeda dengan Pengadilan Keadilan
Internasional, yang merupakan badan untuk menyelesaikan sengketa antarnegara,
dan Hukum Kejahatan Perang.
C. Penyebab Timbulnya Sengketan Internasional dan
Cara Penyelesaian oleh Mahkamah Internasional
1. Sebab-sebab
timbulnya sengketa internasional:
a.
Kepentingan ideologi, politik, sosial, ekonomi,
dan militer.
b.
Klaim tentang batas wilayah.
c.
Terjadinya pelanggaran imternasional tentang
kepemilikan senjata nuklir, kimia, dan biologi yang dianggap mengancam keamanan
internasional.
d.
Klaim atas kepemilikan pulau.
e.
Kepemilikan wilayah strategis.
f.
Perpecahan suatu bangsa karena kepentingan
politik, ekonomi, sosial, dan militer.
g.
Salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya dalam perjanjian internasional.
h.
Perbedaan penafsiran mengenai isi
perjanjian internasional.
i.
Perebutan sumber-sumber ekonomi.
j.
Perebutan pengaruh ekonomi,
politik, atau keamanan regional dan internasional.
k.
Adanya intervensi terhadap kedaulatan
Negara lain.
l.
Penghinaan terhadap harga diri
bangsa.
2. Macam-macam
sengketa internasional
Berdasarkan
caraa penyelesaiannya sengketa internasional dibedakan menjadi:
a.
Sengketa justisiabel (sengketa hukum)
Sengketa
justisiabel adalah sengketa yang dapat diajukan ke pengandilan atas dasar hukum
internasional.
b.
Sengketa nonjustisiabel (sengketa politik)
Sengketa
nonjustisiabel adalah sengketa yang bukan merupakan sasaran penyelesaian
pengadilan.
3. Cara Penyelesaian
Sengketa Internasional melalui Mahkamah
internasional
Mahkamah Internasional adalah salah satu badan perlengkapan PBB yang berwenang mengadili
perselisihan kepentingan dan perselisihan hukum antaranggota PBB.
Ada dua mekanisme
penyelesaian sengketa internasional melalui Mahkamah internasional, yaitu
mekanisme normal dan khusus.
§
Mekanisme
Normal:
1.
Penyerahan perjanjian khusus yng berisi tdentitas para pihak dan pokok persoalan sengketa.
2.
Pembelaan tertulis,
berisi fakta, hukum yang relevan, tambahan fakta baru, penilakan atas fakta
yang disebutkan dan berisi dokumen pendukung.
3.
Presentasi pembelaan
bersifat terbuka dan umum atautertutup tergantung pihak sengketa.
4.
Keputusan bersifat
menyetujui dan penolakan. Kasus internasional dianggap selesai apa bila: Para
pihak mencapai kesepakatan
Para pihak menarik diri dari prose persidangan Mahkamah internasional.
Mahkamah internasional telah memutus kasus tersebut berdasarkan pertimbangan
dan telah dilakukan ssuai proses hukum internasional yang berlaku.
§
Mekanisme Khusus :
1.
Keberatan awal karena
ada keberatan dari pihak sengketa Karen mahkamah intrnasional dianggap tidak memiliki
yusidiksi atau kewenangan atas kasus tersebut.
2.
Ketidakhadiran salah
satu pihak yang bersengketa, biasanya dilakukan oleh Negara tergugat atau
respondent karena menolak yuridiksi Mahkamah Internasional.
3.
Keputusan sela, untuk
memberikan perlindungan terhadap subyek persidangan, supaya pihak sengketa
tidak melakukan hal-hal yang mengancah efektivitas persidangan Mahkamah
internasional.
4.
Beracara bersama,
beberapa pihak disatukan untuk mengadakan sidang bersama karena materi sama
terhadap lawan yang sama.
5.
Intervensi, mahkamah
internasional memberikan hak kepada Negara lain yang tidak terlibat dalam
sengketa untuk me;lakkan intervensi atas sengketa yangsedang disidangkan bahwa
dengan keputusan Mahkamah internasional ada kemungkinan Negara tersebut
dirugikan
Ada dua cara
penyelesaian segketa internasional, yaitu secara damai dan paksa, kekerasan
atau perang.
© Penyelesaian secara damai, meliputi :
1.
Arbitrase, yaitu
penyelesaian sengketa internasional dengan cara menyerahkannya kepada orang
tertentu atau Arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh mereka yang
bersengketa, namun keputusannya harus sesuai dengan kepatutan dan keadilan ( ex
aequo et bono).Prosedur penyelesaiannya, adalah :
a.
Masing-masing Negara yang bersengketa menunjuk
dua arbitrator, satu boleh berasal dari warga negaranya sendiri.
b.
Para arbitrator
tersebut memilih seorang wasit sebagai ketua dari pengadilan Arbitrase
tersebut.
c.
Putusan melalui suara terbanyak.
2.
Penyelesaian Yudisial,
adalah penyelesaian sengketa internasional melalui suatu pengadilan
internasional dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum.
3.
Negosiasi, tidak seformal
arbitrase dan Yudisial. Terlebih dahulu dilakukan konsultasi dan komunikasi
agar negosiasi dapat berjalan semestinya.
Jasa-jasa baik atau mediasi, yaitu cara penyelesaian sengketa internasional
dimana Negara mediator bersahabat dengan para pihak yang bersengketa, dan
membantu penyelesaian sengketanya secara damai. Contoh Dewan Keamanan PBB dalam
penyelesaian konplik Indonesia Belanda tahu 1947. Dalam penyelesaina dengan
Jasa baik pihak ketiga menawarkan penyelesaian, tapi dalam Penyelesaian secara Mediasi,
pihak mediator berperan lebih aktif dan mengarahkan pihak yang bersengketa agar
penyelesaian dapat tercapai.
4.
Konsiliasi, dalam arti
luas adalah penyelesaian sengketa denga bantuan Negara-negara lain atau
badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak.
Konsiliasi dalam arti sempit, adalah suatu penyelesaian sengketa internasional
melalui komisi atau komite dengan membuat laporan atau ussul penyelesaian
kepada pihak sengketa dan tidak mengikat.
5.
Penyelidikan, adalah
biasanya dipakai dalam perselisihan batas wilayah suatu Negara dengan
menggunakan fakta-fakta untuk memperlancar perundingan.
Penyelesian PBB, Didirikan pada tanggal 24 Oktober
1945 sebagai pengganti dari LBB (liga Bangsa-Bangsa), tujuan PBB adalah
menyelesaikan sengketa internasional secara damai dan menghindari ancaman
perang.
6.
Rujuk yaitu penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh panitia penyelidik secara kekeluargaan.
7.
Mediasi, melibatkan pihak ketiga
(third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat
berupa individu atau kelompok (individual or group), negara atau kelompok
negara atau organisasi internasional.
8.
Jasa-jasa baik (Good Offices) adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan
pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa
menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi.
© Penyelesaian secara pakasa, kekerasan atau perang :
a.
Perang dan tindakan
bersenjata non perang, bertujuan untuk menaklukkan Negara lawan dan membebankan
syarat penyelesaian kepada Negara lawan.
b.
Retorsi, adalah
pembalasan dendam oleh suatu Negara terhadap tindakan – tindakan tidak pantas
yang dilakukan Negara lain. Contoh menurunkan status hubungan diplomatic, atau
penarika diri dari kesepakatan-kresepakatan fiscal dan bea masuk.
c.
Tindakan-tindakan
pembalasan, adalah cara penyelesaian sengketa internasional yang digunakan
suatu Negara untuk mengupayakan memperoleh ganti rugi dari Negara lain. Adanya
pemaksaan terhadap suatu Negara.
d.
Blokade secara damai adalah
tindakan yang dilakukan pada waktu damai, tapi merupakan suartu pembalasan.
Misalnya permintaan ganti rugi atas pelabuhan yang di blockade oleh Negara
lain.
e.
Intervensi (campur
tangan),adalah campur tanagn terhadap kemerdekaan politik tertentu secara sah
dan tidak melanggar hukum internasional. Contohnya :
1.
Intervensi kolektif
sesuai dengan piagam PBB.
2.
Intervesi untuk
melindungi hak-hak dan kepentingan warga negaranya.
3.
Pertahanan diri.
4.
Negara yang menjadi
obyek intervensi dipersalahkan melakukan pelanggaran berat terhadap hukum
internasional.
f.
Reprisal adalah upaya paksa yang dilakukan
oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan yang tidak pantas yang dilakukan
oleh negara lain.
g.
Embargo adalah larangan ekspor barang ke
negara yang dikenai embargo.
Prosedur kerja Mahkamah Internasional dalam penyelesaian
masalah internasional yaitu:
a)
Prosedur tertulis dan
perdebatan lisan diatur sedemikian rupa sehingga untuk menjamin sepenuhnya
masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya,
b)
Sidang-sidang mahkamah
terbuka untuk umum, sedangkan sidang-sidang arbitrase tertutup,
c)
Rapat-rapat hakim
mahkamah diadakan dalam sidang tertutup.
Identifikasi keputusan
Mahkamah Internasional sebagai berikut:
a)
berisi komposisi mahkamah, informasi mengenai
pihak-pihak yang bersengketa beserta wakil-wakilnya, analisa mengenai
fakta-fakta dan argumentasi pihak-pihak yang bersengketa,
b)
penjelasan mengenai motivasi Mahkamah,
c)
berisi dispositif yaitu keputusan Mahkamah
yang mengikat Negara-negara yang bersengketa dan disebutkan jumlah suara yang
diperoleh melalui keputusan tersebut.
Contoh Sengketa Internasional:
Sengketa
Blok Ambalat: Klaim Konsesi Minyak Indonesia-Malaysia
Kawasan
sekitar Blok East Ambalat yang saat ini ditawarkan perusahaan minyak Petronas
Carigali pada investor asing karena diklaim pemerintah Malaysia berada dalam
wilayahnya, sebenarnya sudah dikelola oleh Indonesia sejak lama. Bahkan
beberapa blok di sekitar blok tersebut sudah dikelola sejak puluhan tahun
lalu, sebagai contoh perusahaan minyak Total Indonesia telah mengelola Blok
Bunyu sejak 1967, British Petroleum di Blok NE Kalimantan Offshore tahun 1970,
Hadson Bunyu untuk Blok Bunyu pada 1983, ENI Bukat untuk Blok Bukat 1988
dan Job Pertamina–Teikoku di Blok Sembakung tahun 1988. Wilayah Ambalat
saat ini sudah dieksploitasi dengan operator sebuah perusahaan minyak
dari Italia, ENI Ambalat Ltd (kontrak tertanggal 27- September 1999 s.d 2029)
dengan sifat kontrak bagi hasil. Sementara di wilayah Blok East
Ambalat dikelola oleh Unocal Ventures (kontrak tertanggal 12 Desember
2004). Sebenarnya peta konsesi minyak (Pertamina) tersebut sejak lama sudah
diketahui oleh Malaysia dan dikenal sebagai “Exercise Indonesia Rigths to
Continental Shell” tanpa ada gugatan dari pihak manapun termasuk Malaysia
sendiri.
Penawaran
terhadap blok migas lain selain Blok East Ambalat telah dilakukan pemerintah
Indonesia pada investor asing melalui penawaran langsung (direct offering)
September 2004 antara lain: Blok Bulungan di Kalimantan
Timur, Blok
Nunukan di Kalimantan Timur, Blok Seruway di NAD, Blok Pandan di Sumatera Selatan, Blok barito di perbatasan
antara Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Selain itu yang sudah
ditawarkan adalah Blok North West Natuna di Laut Natuna, Blok Air Komering di
Sumatera Selatan, Blok Belida di Sumatera Selatan, Blok East Sepanjang di Jawa
Timur dan Blok Sei Nangka-Senipah di Kalimantan Timur.
Namun setelah semua blok
ditawarkan pemerintah Indonesia, perusahaan Malaysia, Petronas Carigali
ternyata kemudian menawarkan blok yang sama pada investor asing lain tetapi
dengan menamakan wilayah kerja mereka sebagai wilayah Y (Blok ND 6) dan wilayah
Z (Blok ND 7). Dengan demikian wilayah Y (Blok ND 6) menjadi tumpang tindih
dengan Blok Ambalat yang telah dioperasikan oleh ENI Ambalat Ltd dan Blok
East Ambalat oleh Unocal Ventures. Sedangkan wilayah Z (Blok ND 7) adalah blok
yang tumpang tindih dengan wilayah perairan Philipina di
selatan karang Frances.
Dasar klaim Malaysia terhadap
wilayah perairan Ambalat didasarkan pada peta 1979 yang diterbitkan secara sepihak
(unilateral) oleh Malaysia yang sekaligus telah pula mencantumkan Sipadan-Ligitan
sebagai wilayah Malaysia di dalamnya dan menjadi dasar klaim
kedua pulau tersebut
walaupun peta 1979 tersebut telah mendapat protes baik dari Indonesia maupun
beberapa negara Asia Tenggara yang berbatasan dengan Malaysia antara lain :
Thailand, Vietnam,
Singapura, Brunei, dan Philipina. Bahkan Indonesia telah mengajukan protes
atas peta tersebut sejak tahun 1980 dan menyatakan tidak mengakui peta 1979
tersebut. Jika dilihat dari sudut juridis, maka impelemtasi hukum terhadap peta
1979 dapat dikatakan tidak ada sebab penentuan batas maritim sebagaimana
yang tergambar dalam peta 1979 tersebut tidak dilaksanakan berdasar pada hukum
internasional yaitu melalui perjanjian antar negara yang wilayahnya berbatasan.
Dengan demikian yang ada dari penerbitan peta 1979 adalah lebih condong pada
implementasi politis semata, oleh karena itu legitimasi peta 1979 ini masih
dipertanyakan.
Namun demikian Malaysia
tetap menganggap bahwa Blok Ambalat di Laut Sulawesi merupakan bagian dari
wilayahnya, sebab menurut mereka Blok ND 6 dan ND 7
di laut Sulawesi itu berada dalam batas kontinen Malaysia sebagaimana tercakup
dalam peta wilayah perairan dan batas kontinen Malaysia 1979. Oleh
karenanya Malaysia merasa mempunyai hak dan yuridiksi untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumber alam batas kontinennya sesuai
Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut. Namun bila dicermati argumentasi Malaysia
yang menyatakan batas kontinennya sesuai dengan UNCLOS 1982 perlu
dipertanyaan mengingat Malaysia bukanlah Negara kepulauan yang bisa membuat
dasar penarikan batas wilayah berdasarkan konvensi PBB tersebut.
Penyebab Sengketa
Internasional di atas adalah:
a.
Klaim tentang batas wilayah.
b.
Klaim atas kepemilikan pulau.
c.
Kepemilikan wilayah strategis.
d.
Perebutan sumber-sumber ekonomi.
e.
Adanya intervensi terhadap
kedaulatan Negara lain.
Cara Penyelesaian Sengketa Internasional di
atas:
Penyelesaian sengketa internasional antara
Indonesia dengan Malaysia dapat dilakuka secara damai yaitu dengan:
a.
Arbitrase, yaitu
penyelesaian sengketa internasional dengan cara menyerahkannya kepada orang
tertentu atau Arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh mereka yang
bersengketa, namun keputusannya harus sesuai dengan kepatutan dan keadilan ( ex
aequo et bono).
b.
Penyelesaian Yudisial,
adalah penyelesaian sengketa internasional melalui suatu pengadilan
internasional dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum.
c.
Negosiasi, tidak
seformal arbitrase dan Yudisial. Terlebih dahulu dilakukan konsultasi dan
komunikasi agar negosiasi dapat berjalan semestinya.
d.
Jasa-jasa baik atau
mediasi, yaitu cara penyelesaian sengketa internasional di mana Negara mediator
bersahabat dengan para pihak yang bersengketa, dan membantu penyelesaian
sengketanya secara damai. Contoh Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konplik
Indonesia Belanda tahu 1947. Dalam penyelesaina dengan Jasa baik pihak ketiga
menawarkan penyelesaian, tapi dalam Penyelesaian secara Mediasi, pihak mediator
berperan lebih aktif dan mengarahkan pihak yang bersengketa agar penyelesaian
dapat tercapai.
e.
Konsiliasi, dalam arti
luas adalah penyelesaian sengketa denga bantuan Negara-negara lain atau
badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak.
Konsiliasi dalam arti sempit, adalah suatu penyelesaian sengketa internasional
melalui komisi atau komite dengan membuat laporan atau ussul penyelesaian
kepada pihak sengketa dan tidak mengikat.
f.
Penyelidikan, adalah
biasanya dipakai dalam perselisihan batas wilayah suatu Negara dengan
menggunakan fakta-fakta untuk memperlancar perundingan.
Penyelesian PBB, Didirikan pada tanggal 24 Oktober
1945 sebagai pengganti dari LBB (liga Bangsa-Bangsa), tujuan PBB adalah
menyelesaikan sengketa internasional secara damai dan menghindari ancaman
perang.
g.
Rujuk yaitu penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh panitia penyelidik secara kekeluargaan.
Mekanisme Persidangan Mahkamah Internasional
a.
Penyerahan Perjanjian Khusus
(Natification of Special Agreement).
Demikianlah pada tanggal 31 Mei 1997 bertempat di Kuala
Lumpur, Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk
Abdullah Ahmad Badawi, atas nama pemerintahnya masing-masing menandatangani
Persetujuan Khusus (Special Agreement) untuk mengajukan sengketa tersebut ke
Mahkamah Internasional.
Pokok-pokok kesepakatan yang dimuat dalam Persetujuan
Khusus tersebut adalah :
Meminta dan memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Internasional untuk menentukan status kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan berdasarkan semua bukti yang ada.
Memberikan kewenangan kepada Mahkamah Internasional
untuk menguji keabsahan tuntutan masing-masing negara berdasarkan sumber-sumber
hukum internasional yang berlaku sesuai Pasal 38 Statuta Mahkamah.
Penyampaian naskah Special Agreement ke Mahkamah
Internasional akan dilakukan kedua pihak bersamaan melalui Joint Notification,
setelah masing-masing pihak meratifikasi dan menukarkan naskah ratifikasinya.
Special Agreement tersebut diratifikasi oleh Malaysia
pada tanggal 19 November 1997 dan oleh Indonesia dengan Keppres tanggal 29
Desember 1997 dan mulai berlaku tanggal 14 Mei 1998. Selanjutnya kasus Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan diajukan ke Mahkamah Internasional sesuai Pasal 40
ayat 1 Statuta Mahkamah melalui notifikasi bersama dan yang diterima oleh
Panitera tanggal 2 November 1998.
Pembelaan Tertulis (Written Pleadings).
Dalam Argumentasi Tertulis dibagi menjadi tiga
tahapan, yaitu penyampaian dasar dari klaim yang disebut sebagai Memorial .
Atas Memorial yang disampaikan, masing-masing negara diberi kesempatan untuk
menjawab dalam bentuk Counter Memorial. Counter Memorial yang disampaikan oleh
masing-masing negara kemudian dijawab kembali dalam bentuk Reply. Indonesia dan
Malaysia menyampaikan Memorial mereka pada bulan November 1999. Selanjutnya kedua
negara menyampaikan Counter Memorial pada bulan Agustus 2000. Atas Counter
Memorial yang disampaikan oleh masing-masing negara, masing-masing telah
menanggapinya dalam Reply yang disampaikan ke
Mahkamah Internasional pada bulan Maret 2001. Pada bulan Juni 2002, para
pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan Argumentasi Lisan mereka.
Indonesia dalam argumentasi hukumnya berdasarkan
kepemilikannya atas kedua pulau berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 antara
Belanda dan Inggris (atau yang disebut sebagai “Conventional Title”). Indonesia
berpendapat bahwa Konvensi 1891 merupakan perjanjian yang menyelesaikan
ketidakjelasan batas-batas wilayah antara Inggris dan Belanda di Kalimantan.
Dalam hubungan ini Indonesia menafsirkan bahwa garis 4 10’ tersebut tidak hanya
berhenti pada bagian timur Pulau Sebatik, tetapi terus berlanjut ke arah laut
sebelah timur pulau tersebut. Dengan demikian, pulau-pulau Sipadan dan Ligitan
yang berada di bagian selatan garis tersebut merupakan wilayah Hindia Belanda.
Pandangan Indonesia ini didukung oleh kenyataan bahwa konsesi minyak yang
diberikan oleh kedua pihak secara jelas menghormati garis 4 10’. Selain itu
kunjungan Kapal Perusak Lynx (milik Belanda) ke pulau Sipadan pada tahun 1921
menunjukkan adanya kontrol yang efektif pihak pemerintah Hindia Belanda atas
kedua pulau.
Malaysia dalam
argumentasinya menyatakan bahwa garis 4 10’ tersebut berhenti pada bagian timur
Pulau Sebatik, karena perjanjian 1891 hanya bertujuan untuk mengatur batas
wilayah daratan. Berkaitan dengan kepemilikannya atas kedua pulau, Malaysia
menitikberatkan pada dua alur pemikiran (atau yang disebut sebagai “Chain of
Title”), sebagai berikut :
Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari serangkaian
transaksi yang dimulai dari grant Sultan Sulu kepada British North Borneo
Company (BNBC) tahun 1878, pengakuan Spanyol atas kedaulatan Inggris di Borneo
melalui Perjanjian 1885, dan pertukaran Nota antara Amerika Serikat (AS) dengan
Inggris tahun 1907 mengenai pengakuan AS atas pengelolaan pulau-pulau yang
sedang dipermasalahkan (termasuk Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan) yang berada
dalam administrasi BNBC meskipun kedaulatannya masih tetap berada di bawah AS.
Malaysia juga merujuk pada Perjanjian AS-Inggris tahun 1930 tentang penyerahan
kedaulatan AS kepada Inggris atas pulau-pulau di selatan dan barat garis batas
antara Filipina dengan Borneo, dan penyerahan kedaulatan Inggris kepada
Malaysia tahun 1963 melalui prinsip suksesi negara.
Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari fakta bahwa
Inggris kemudian Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan terus-menerus telah
mengadministrasikan kedua pulau itu. Di pihak lain, Belanda dan kemudian
Indonesia tidak pernah melakukan klaim atas kedua pulau sampai tahun 1969.
Argumentasi Malaysia tersebut dikenal dengan istilah effectivities
Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)
Setelah proses argumentasi tertulis (Written Pleading)
selesai, penyelesaian kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan memasuki tahap
akhir, yaitu penyampaian Lisan dan Oral Hearing.
Kedua Agent dari masing-masing pihak yang bersengketa
menyampaikan presentasi berupa sikap dan posisinya, terutama yang mengandung
sikap politis dan penekanan yuridis. Walaupun sebenarnya argumentasi yang
bersifat yuridis juga disampaikan oleh kedua pihak yang bersengketa di tahapan
Written Pleading.
Malaysia menyampaikan argumen lisannya tanggal 6 Juni
2002 dan Indonesia tanggal 12 Juni 2002. Masing-masing pihak diberi hak
menjawab argumentasi lawannya. Pada pelaksanaan Oral Hearing tanggal 12 Juni
2002, delegasi Indonesia yang diketuai Menteri Luar Negeri RI, dalam
kedudukannya sebagai Agent. Oral Hearing pihak Indonesia merupakan pernyataan
terakhir posisi Indonesia di Mahkamah mengenai masalah sengketa Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan oleh Menteri Luar Negeri RI yang berfungsi sebagai Agent yang
dilanjutkan dengan presentasi oleh para pakar hukum internasional yang membantu
tim Indonesia.
Keputusan Mahkamah (Judgement)
Setelah para hakim anggota mempelajari dan
mendiskusikan semua argumentasi hukum yang disampaikan oleh pihak-pihak yang
bersengketa (Indonesia dan Malaysia), maka sesuai prosedur Mahkamah
Internasional, pada tanggal 17 Desember 2002 Ketua Mahkamah Internasional
membacakan keputusannya dan menetapkan bahwa Indonesia dan Malaysia kurang
memiliki dasar hukum yang kuat untuk membuktikan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan merupakan bagian dari wilayah Indonesia maupun Malaysia. Karena
Mahkamah telah diminta kedua pihak yang bersengketa, maka Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa Malaysia berdasarkan pertimbangan
“effectivities” memiliki kedaulatan penuh atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
melalui perbandingan voting suara 16 hakim mendukung dan seorang hakim menolak.